Judul : Namanya Dedi
Cover : CoSeYaSih
Tema : Pendidikan

 Sudah dua tahun lebih Dedi menjadi seorang pengangguran. Pria berusia 23 tahun ini awalnya bekerja mengirim produk makanan buatan pabrik tempat ia bekerja ke toko-toko kecil, karena pabrik tempat Dedi bekerja kebakaran mau tak mau Dedi harus mencari pekerjaan lain. Namun itu sangat sulit, mengingat pendidikan Dedi yang hanya sampai SMA.
 Dedi dikenal sebagai pribadi yang baik, mementingkan kepentingan bersama, dan ramah. Banyak tetangga yang mengagguminya, banyak juga di antara mereka yang berusaha membantu ia untuk mencari pekerjaan.
 Waktu magrib telah tiba. Dengan kaos hitam dan sarung hijau kotak-kotaknya, ia segera bergegas menuju masjid yang sangat dekat dengan rumahnya. Lafaz-lafaz adzan pun dikumandangkannya, matanya terpejam mendalami makna lafaz-lafaz yang hampir setiap waktu solat datang ia kumandangkan. Ia tidak pernah absen solat berjama'ah di masjid, ia juga sering membersihkan mesjid dengan suka rela.
 Walaupun ia sendiri tak memiliki uang sebanyak pria lain seumurannya yang masih bekerja. Infak dan sedekah selalu ia lakukan, ia percaya Tuhan akan selalu membalas kebaikan sekecil apapun.

***

 Ya Allah semoga hari ini semuanya lancar, amin. Alhamdulillah, sore kemarin aku mendapat panggilan untuk bekerja di toko swalayan. Dengan semangat dan atas ridho Allah, aku segera berpamitan pada ibu. Kucium tangan lebutnya, tangan yang selalu memberiku kasing sayang, bahkan memberikan hidupnya untukku. Maafkan aku ibu, sampai saat ini aku masih belum bisa membahagiakanmu.
 "Hati-hati ya anak ibu yang soleh." Tangan lembut itu mengusap rambutku pelan. "Do'ain Dedi ya, Bu." Ucapku. "Tanpa kamu suruh pun ibu selalu mendo'akanmu." Lembut ibu. "Aku pergi ya Bu, asslamu'alaikum" "Wa'alaikum salam"
 Bismillah, semoga saja hari ini adalah hari yang selalu kunantikan. Dengan motor merah yang baru saja kulunasi, aku berangkat dengan penuh semangat. Ibu memandangiku, mungkin ia mendo'akanku agar hari ini menjadi hari keberhasilanku. "Amin, Ya Allah. Semoga inilah jalanku."
 Untuk menuju jalan raya utama, diperlukan waktu kurang lebih sepuluh menit. Aku harus melewati jalanan kompleks tempatku tinggal, dan jalan raya kecil. Saat melewati jalan kecil ini, kulihat ada karung yang menghalangi jalan.
 "Siapa yang membuang karung di tengah jalan seperti ini?" Pikirku. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, aku pun menghentikan motorku dan turun untuk memindahkan karung tersebut ke tepi jalan. Namun saat kulihat lebih dekat lagi, di balik karung itu terdapat seorang kakek tua yang terbaring lemah. Sepertinya kakek ini seorang pemulung. Segera kudekati kakek tua itu, astagfirullah.. padahal tak sedikit orang yang melewati jalan raya kecil ini, tapi mengapa tidak ada yang mempedulikan kakek ini?
 "Kek, Kakek masih bisa bangun? ayo naik motor saya, biar saya antar ke rumah sakit." Ucapku sedikit berteriak untuk mengalahkan suara kendaraan lain yang berlalu lalang di sekitar jalan. Kakek tua ini tak menjawab pertanyaanku, tubuhnya sangat dingin dan bergetar. Tak mungkin kakek tua ini menaiki motorku dengan keadaan seperti ini, aku mencoba menghentikan mobil yang melewati jalan ini. Mobil pertama dan kedua memberikan jawaban yang sama, mereka menyuruhku untuk meninggalkan kakek ini dan mengurus urusanku sendiri. Sungguh miris, kepedulian sosial mereka nihil.Hingga akhirnya, mobil mewah berwarna silver bersedia mengantarkan kakek ini ke rumah sakit terdekat.
 Setelah sampai dirumah sakit, kakek ini segera ditangani oleh dokter. "Ya Allah, semoga saja kakek itu bisa diselamatkan." Gumamku lirih.
 "Apa beliau kakek kamu?" Tanya Bapak yang membawa mobil silver tadi. "Bukan Pak. Oh ya Pak, bagaimana pun saya sangat berterimakasih sekali pada Bapak. Semoga Bapak panjang umur dan rezekinya semakin dipermudah oleh Allah SWT." Senyumku. "Amin, kamu juga." Ucap Bapak berpakaian rapi itu sangat ramah, sambil memegang pundakku. "Saya?" Heranku.
 "Bukannya kakek itu bukan kakek kamu? berarti kamu juga menolong kakek itu dong." Terlihat senyum bapak itu penuh cahaya keikhlasan. "Oh. itu Pak hehe" Cengirku.
 "Kalau kamu mau kerja, berangkat aja, biar bapak yang urus kakek itu." Ucap bapak itu. "Iya Pak, gak papa, saya saja yang di sini. Bapak kelihatan lebih sibuk daripada saya." Senyumku mencoba tak memperlihatkan kekecewaanku yang tak ada harapan lagi pada panggilan di swalayan itu, karena seharusnya aku tak boleh datang terlambat. Ya mungkin Allah sudah mengatur semuanya, aku hanya perlu bersabar kembali.
 "Tidak-tidak, saya tidak sibuk hari ini. Lagipula saya salah satu anggota Dompet Dhuafa." Sergahnya.
 "Oh syukurlah kalau begitu Pak. Terima kasih sekali Pak, saya pamit. Assalamu'alaikum." Pamitku sambil berterimakasih lagi pada bapak yang selalu tersenyum iklas ini. "Wa'alaikum salam. Tapi, Nak tunggu! Boleh saya minta kartu nama kamu?"
 "Maaf pak saya tidak punya kartu nama."
 "Alamat tempat kamu kerja aja, saya pengen kita bisa ketemu lagi."
 "Alamat kerja?"

***

"Saya salut dengan kesabaran kamu, Ded." Dedi menceritakan semua apa yang terjadi padanya, tentang ia menjadi pengangguran, sampai ia gagal mengunjungi panggilan pekerjaan demi menolong kakek itu. Sebenarnya Dedi tidak ingin menceritakan semua itu, tapi orang yang sudah menolong kakek tua itu, yaitu pak Muhammad memintanya. "Terima kasih Pak. Lagipula hanya bersabar yang bisa saya lakukan." Bijak Dedi membuat pak Muhammad semakin berdecak kagum. Pria berperut buncit dan berkacamata ini jarang menemukan pribadi seperti Dedi, atau mungkin tidak pernah.
 "Subhanallah" Lagi-lagi pak Muhammad memuji mahluk ciptaan Tuhan ini.

 Setelah berbicang-bincang cukup lama. Dedi dan pak Muhammad pun kembali melihat keadaan kakek tua yang sebelumnya belum sadarkan diri. Langkah keduanya terhenti saat tubuh kakek tua itu ditutupi kain putih dan dibawa pergi oleh perawat.
 "Bapak walinya kakek ini bukan? Ikhlaskanlah! beliau meninggal dengan tenang di hari Jum'at dan mengingat Allah" Dokter bernama Mariam itu tersenyum pada Dedi dan pak Muhammad. "Innalillahiwainnaillaihiraji'un" Serempak Dedi dan pak Muhammad.

 Kakek tua ini tidak memiliki keluarga, jadi biaya pemakaman ditanggung oleh pak Muhammad dan teman-temannya yang juga anggota Dompet Dhuafa, Dedi juga ikut menguburkan kakek tua itu. Menurut teman-teman sesama pemulung, kakek tua yang diketahui bernama Mbah Asep ini dikenal sebagai pribadi yang sabar dan murah senyum, saat hasil pulungannya tak mampu bertukar dengan sesuap nasi, ia tidak pernah merepotkan orang disekitarnya. Ibadahnya selalu tepat waktu, almarhum juga selalu mengingatkan pemulung-pemulung lainnya untuk selalu mengingat Allah dan menolong sesama. Satu kalimat yang masih sangat diingat pemulung-pemulung yang dekat dengan kakek Asep, "Rezeki orang yang selalu menolong itu luar biasa berkahnya."
***
 Hari ini terasa terik sekali, tapi aku masih sibuk mencari-cari lowongan pekerjaan yang pas di tukang koran depan kompleks. Tiba-tiba mobil silver berhenti di belakangku. Kuperhatikan mobilnya. Sepertinya aku mengenalnya. "Ya, pasti Pak Muhammad." Sergahku. Keluarlah sosok pria berperut buncit itu. "Assalamu'alaikum, Ded." Aku pun tersenyum dan menjawab salamnya.

***
 Aku ciumi tangan ibu. Kupeluk dia dengan erat. Ia heran mengapa aku seperti ini. "Bu, aku mendapatkan pekerjaan, dan aku akan kuliah, Bu. Pak Muhammad yang tempo hari kuceritakan, ia memberiku pekerjaan paruh waktu dan aku dikuliahkan di tempatnya mengajar, gratis, Bu!!" Ibu hanya menangis dan memelukku sangat erat. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah.



* Cerpen ini dibuat karena imajinasi saya sendiri
*Jika ada kesamaan Nama, tempat dan lain sebagainya, itu terjadi karena ketidaksengajaan

Post a Comment