Cerita berawal dari panggilan tes tulis sebuah bank di Surabaya. Waktu itu cuma saya saja yang dipanggil, teman-teman saya enggak ada yang dipanggil soalnya mereka enggak daftar dan enggak tahu kalau bank itu ada lowongan kerja. Tempat tes adalah Unair, saya yang belum pernah sama sekali ke sana bingung mau menginap dimana kalau nanti sudah sampai di Surabaya. Saya memutar otak supaya dapat tempat menginap gratis dan dapat guide untuk memberi tahu lokasi tes tulis. Saya menghubungi teman saya yang adiknya kuliah di Unesa, katanya kalau dari sana ke Unair naik motor makan waktu satu jam. Hemm... saya nggak mungkin ke Surabaya bawa motor, naik aja berat apalagi bawa ya, hehehe. Oke, adik teman saya ini tereliminasi. Saya ingat ada satu teman SMA saya yang kuliah di Unair, semoga dia belum lulus, batin saya waktu itu. Agak jahat ya tapi ya masuk akal juga karena kuliahnya di farmasi. Kalau kuliah di jurusan yang ada hubungannya sama kesehatan-kesehatan gitu biasanya lama kan, paling cepat 5 tahun ya, hehehe *sok tahu*


Benar dugaan saya, teman saya itu lagi ambil kuliah profesi dan masih ngekos di sekitar Unair. Akhirnya setelah beberapa diskusi via sms tercapailah kata sepakat. Wohoo... akhirnya dapat juga tempat menginap gratis. Setelah urusan penginapan selesai, saya segera mengurus berkas-berkas persyaratan tes, mulai dari formulir-formulir yang harus diunduh dari website resmi bank, surat keterangan bebas narkoba dari rumah sakit, sampai SKCK dari kepolisian yang ngurusnya sangat menghabiskan waktu, tenaga, dan juga bensin (maklum tempat ngurusnya jauh dari rumah). Dan yang paling penting adalah tiket kereta api ke Surabaya. Karena saya tidak pernah ke stasiun kereta api sebelumnya jadi saya mengajak teman saya yang sudah punya pengalaman masuk ke stasiun dan membeli tiketnya.

Beginilah suasana Stasiun Kota Malang waktu saya antre beli tiket kereta Malang-Surabaya

Hari yang dinanti-nanti pun datang, saya segera packing barang-barang yang harus saya bawa ke Surabaya, perlengkapan mandi, pakaian ganti, pakaian tes, make up, laptop, dan berkas-berkas tes pastinya (bahaya kalau sampai ini ketinggalan!). Saya enggak mau bawa banyak tas, cukup satu tas saja supaya praktis dan tidak seperti orang mau pindah rumah padahal cuma mau menginap dua hari di Surabaya. Jadilah tas punggung saya menggembung dengan tidak manusiawi, pokoknya gedean tas e timbang wong e.

Jam 12 siang saya sudah sampai di stasiun diantar oleh sepupu saya, begitu Mas Petugas di pintu masuk teriak “Surabaya... Surabaya” saya langsung masuk menunjukkan tiket dan cipika-cipiki dengan sepupu saya. “Jalur 3 ya,” gitu kata masnya. Saya yang 23 tahun tidak pernah masuk stasiun langsung masuk dengan pede-nya, sepi sekali di dalam hanya ada seorang mbak dan ibunya yang berjalan di depan saya. Mbak itu ternyata juga enggak tahu dimana gerbong yang akan dinaikinya, dia tanya ke mas yang lagi ngepel gerbong sedangkan saya tanya ke bapak yang lagi baca koran sendirian di tempat duduk. Setelah dapat petunjuk saya langsung masuk ke gerbong 3 dan mencari-cari kursi saya. Akhirnya saya menemukan kursi yang selama kurang lebih 3 jam akan saya siksa dengan tulang bokong saya dalam perjalanan saya ke Surabaya, saya langsung duduk dan memangku tas saya yang segede gaban itu karena ibu saya bilang tasnya jangan ditaruh di atas, dipangku aja. “Oo begini to rupa stasiun itu, begini to dalamnya kereta api itu,” batin saya ndeso. Setengah jam lebih saya duduk manis anteng di dalam kereta sambil memperhatikan orang-orang yang masuk ke dalam kereta. Saya melihat jam tangan, huh dasar orang Indonesia selalu ngaret, jadwal keberangkatan keretanya 12.30 ini sudah 12.45! Tiba-tiba perasaan enggak enak muncul, kok yang naik kereta ini pada ngomong pakai bahasa Sunda ya? Hemm jangan-jangan... “Pak ini keretanya bukan ke Surabaya?” tanya saya ke seorang bapak yang sedang memangku cucunya yang beberapa detik lalu bilang “Bentar lagi pulang ke Bandung ya, Le.” Bapak itu tampak kebingungan, “Lho ya bukan Mbak.” Astagaaa saya salah naik kereta! Huwaaa... Di menit-menit menjelang keretanya berangkat, tidak peduli orang-orang yang sedang memandang saya kasihan, tidak peduli tas saya yang berat dan segede gaban yang harus saya bawa keluar, saya langsung lari keluar kereta sebelum keretanya berangkat dan menurunkan saya entah di stasiun mana. Saya gemetaran dan menelpon ibu saya agar sepupu saya kembali menjemput saya pulang. Dan bisa ditebak saya menjadi bahan tertawaan di rumah :(

Nah ini foto yang sempat saya abadikan waktu di dalam kereta (jurusan Bandung)

Pesan moral dari cerita saya adalah jangan nekat pergi naik kereta sendirian kalau tidak pernah naik kereta sama sekali, dan usut punya usut ternyata bapak saya tidak setuju kalau saya ikut tes yang ada kebijakan menyerahkan ijasah asli. Ah, restu orangtua memang yang paling utama.

Post a Comment