Siang itu Rinrin merasa tubuh dan otaknya sangat lelah. Dia ingin cepat-cepat pulang dan menhenyakkan diri di tempat tidur. Ulangan matematika dan bahasa Inggris berturut-turut hari itu telah menguras tenaga dan pikirannya. Ya, Ahn Rinrin memang tidak pandai di kedua mata pelajaran itu. Entah sejak kapan matematika dan bahasa Inggris menjadi momok di kehidupan sekolah menengah pertamanya. Rinrin mengingat-ingat kembali masa-masa sekolah dasar, dia begitu pandai di antara teman-teman sekelasnya. Dia selalu menjadi siswa berprestasi, tapi sekarang kenapa dia begitu bodoh? Rinrin tersenyum kecut.

Di belakang Rinrin, beberapa teman-temannya sedang riuh bercanda. Suara Han Hyuksan paling mendominasi keriuhan itu. Seulas senyum tersungging dari bibir Rinrin. Pikirannya kembali mengingat-ingat masa sekolah dasar. Waktu itu Rinrin menjadi wakil sekolahnya untuk lomba siswa berprestasi. Di lomba itulah dia pertama kali bertemu dengan Hyuksan, walaupun Hyuksan tidak pernah menyadarinya.


Hyuksan sangat pandai sekali, dia menduduki peringkat satu di lomba itu. Sedangkan Rinrin ada di peringkat sembilan. Rinrin memandang Hyuksan yang waktu itu sendirian menatap papan pengumuman. Rasa puas tergambar jelas dari wajah Hyuksan. Ingin rasanya Rinrin menjabat tangannya dan mengucapkan selamat, namun nyali Rinrin tidak sebesar itu. Rinrin sudah cukup puas hanya dengan memandang cowok pandai itu dari jauh.

Rinrin menyukai Hyuksan. Betapa bahagianya Rinrin ketika dia satu sekolah dengan Hyuksan dan dua tahun terakhir ini mereka satu kelas. Namun sekali lagi, Rinrin tidak punya nyali besar untuk sekedar menyapa Hyuksan ketika mereka berpapasan di koridor kelas. Rinrin tidak punya nyali besar untuk sekedar mengobrol basa-basi dengan Hyuksan. Rinrin hanya berani memandang Hyuksan dari jauh, menyukai Hyuksan dari jauh, menatap punggung Hyuksan yang berlari di depannya saat pemanasan pelajaran olahraga. Hanya dengan seperti itu saja sudah membuat hari-hari Rinrin menjadi cerah.

Tanpa Rinrin sadari dia sudah terlalu jauh terjebak dalam pikirannya sendiri. Sebuah genggaman di pergelangan tangan menyadarkannya kembali ke dunia nyata. "Rinrin ayo pulang denganku", suara berat itu sangat tidak asing di telinga Rinrin. Han Hyuksan mengajaknya pulang bersama.

cr: Frankie Lovelace

Post a Comment