Ketika aku sedang sendiri, sesekali ingatan itu masih gemar datang hanya untuk sekedar menyapa. Ya, terkadang ia masih suka  membawaku kembali ke masa kecil yang penuh dengan kebebasan. Dimana aku maupun kau bisa tertawa tanpa beban dan merasa sangat bahagia. Tidakkah kau juga merindukan masa - masa itu? Masa dimana kau bisa bermimpi sesuka hatimu. Masa dimana kau bisa mengatakan apa yang menjadi mimpimu dengan suara lantang dan percaya bahwa hal itu suatu saat nanti akan menjadi kenyataan.

Aku ingin menjadi dokter. Aku ingin menjadi guru. Aku ingin menjadi polisi. Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ada begitu banyak daftar keinginan yang sudah tercatat dalam benak, yang bahkan bisa diingat tanpa harus menuliskannya ke dalam tulisan. Terkadang aku malu, aku benar - benar merasa sangat malu. Ketika aku masih terperangkap dalam tubuh kecilku, aku bisa merangkai begitu banyak mimpi yang kupercayai bahwa suatu saat nanti aku bisa mewujudkannya. Pada saat itu, aku memiliki keberanian yang lebih besar dibandingkan dengan tubuh mungilku yang kala itu belum memiliki kekuatan apapun. Dengan senyum dan perasaan yang bahagia, aku bisa katakan aku akan menjadi orang hebat suatu saat nanti.

Tapi, nyatanya. . . Waktu yang terus berjalan dan kedewasaan entah kenapa justru mematikan segalanya. Aku atau dirimu bahkan mulai melupakan daftar keinginan yang sedari dulu menghiasi mimpi kita. Sedikit demi sedikit, aku mulai membiarkan mimpi itu menghilang. Bahkan, dalam tidurpun aku tidak pernah ijinkan untuknya muncul kembali. Bukankah kau pikir itu menyedihkan? Kenapa aku dan kau kehilangan kekuatan untuk meraihnya,  justru disaat kita berdua memiliki kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Bukankah seharusnya sekarang kita mampu mewujudkannya karena kini aku maupun kau bukan bocah tidak berdaya yang tidak bisa melakukan apapun?

Sayangnya. . . Aku maupun kau justru kalah dari kenyataan dan kedewasaan. Ketika kita semakin dewasa, maka disaat itu pula kita akan lebih berhati - hati untuk sekedar melangkah. Ada begitu banyak pertimbangan ini itu yang pada akhirnya membuat kita melepas mimpi kita karena kita yang tidak ingin keluar dari zona nyaman dan aman. Kita yang telah dewasa memiliki ketakutan yang lebih besar dari pada ketika kita masih kanak - kanak. Tidakkah itu sesuatu yang memalukan? Kita yang saat ini telah berada dalam wujud orang dewasa justru memiliki keberanian yang tak ubahnya seperti batu kerikil? Sesuatu yang jauh lebih kecil daripada keberanian yang kita miliki ketika kita masih sangat kecil.

Mimpi yang pernah kita tanam dulu, pada akhirnya kita pulalah yang mematikannya. Sepertinya kita lupa, bahwa dengan tangan mungil kita sendirilah mimpi itu kita tanam sehingga dengan mudahnya, kita injak mimpi itu dengan kaki kita sendiri. Setelah kita dewasa, tanpa sadar kita membunuh mimpi itu karena kita yang kemudian meragukan kemampuan yang kita miliki. Entah pergi kemana kekuatan dan keberanian itu sehingga kita lebih sering meragukan kalau mimpi itu bisa menjadi kenyataan???

Ah, setelah kita berubah menjadi seseorang yang dewasa, keberanian di dalam hati kita justru menjadi sesuatu yang kerdil. Kita yang dewasa justru kehilangan kekuatan yang pernah ada di dalam hati. Keberanian, kekuatan dan kepercayaan menjadi sesuatu yang justru tidak lagi kita miliki. Tidakkah kau dan aku merasa sedih ketika mimpi yang mulai mengeluarkan tunas mudanya justru kita injak karena kita yang mulai meragu bahwa mimpi kecil itu bisa berbunga dengan lebih indah dan besar?

Kenapa kita yang kini telah berada dalam wujud orang dewasa justru menjadi seseorang yang tidak memiliki keberanian? Mungkin kita harus kembali mengingat dimana dulu kita tidak pernah merasa takut untuk jatuh dan terluka ketika memutuskan untuk belajar bersepeda? Berkali - kali jatuh dan kita masih terus mecobanya hingga akhirnya kita bisa mengayuhnya. Dulu kita tidak pernah mengeluh meski harus jatuh berkali - kali. Tapi, kini. . . masihkah kita merasa bahagia ketika terjatuh satu kali? Tidak. Kita tidak akan tertawa seperti dulu ketika kita terjatuh. Mungkin, ketika kita terjatuh, disaat itu pula kita akan putuskan untuk berhenti karena tidak ingin terjatuh dan terluka lagi. Padahal, kita adalah orang yang sama. Tapi, kita yang dulu dengan kita yang sekarang begitu jauh berbeda.

Tidakkah kita merindukan diri kita yang dulu? Diri kita yang penuh dengan mimpi indah dan tidak kenal dengan kata menyerah. Tidakkah kita ingin kembali bertemu dengannya sembari berkata, "Lihatlah, aku berhasil membawa mimpi kita menjadi nyata!".  Tidakkah kita berharap, diri kita di masa lalu akan memeluk kita dengan tangis bahagia sembari mengatakan, "Terima kasih telah mewujudkan mimpi kita. Aku percaya kau bisa melakukannya".

Jika kita memasang telinga kita baik - baik, mungkin kita bisa mendengar suaranya yang memohon pada diri kita di masa sekarang untuk tidak membiarkan mimpi itu mati karena diri kita di masa lalu berharap kita akan terus menjaga mimpi yang telah mereka tanam. Mereka sudah menanamnya dan tugas kitalah untuk terus menyirami dan memberinya pupuk agar mimpi itu bisa berbunga suatu saat nanti.

Mereka terus menunggu, tidak peduli berapa lama kita menghabiskan waktu untuk mewujudkannya. Mereka tetap percaya dan terus berteriak,"Jangan biarkan mimpi itu mati". Mereka sangat berharap kita bisa mendengar suaranya. Jadi, masih tegakah kita untuk membiarkan diri kita di masa lalu kecewa karena melihat kita membunuh mimpi itu? Sampai hatikah kita meghancurkan kepercayaan mereka?

Post a Comment