HITAM PUTIH CINTA


Rama dan Shinta, dua tokoh dari kisah Ramayana ini bisa dianggap sebagai salah satu Icon Cinta Sejati selain Romeo dan Juliette. Aku sendiri pernah mengagumi kekuatan cinta dari Rama dan Shinta. Keduanya seolah pasangan sempurna yang diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Sri Rama Wijaya yang tampan dan berjiwa ksatria disandingkan dengan Dewi Shinta yang cantik dan setia. Bukankah keduanya benar - benar tampak seperti pasangan yang tanpa cacat cela?

Siapa yang bisa meragukan cinta keduanya? Ketika Sri Rama diasingkan ke hutan yang jauh dari kemewahan Istana, Dewi Shinta mengikuti sang suami dengan penuh keikhlasan dan kepatuhan. Mereka tetap saling mengasihi meski ditengah kekurangan. Begitupun dengan Dewi Shinta yang tetap setia pada Rama meski selama bertahun - tahun diculik oleh Rahwana. Tak sedikitpun kesetiaan Dewi Shinta terhadap Rama goyah, meskipun kemewahan dan segala kesenangan duniawi diberikan oleh Rahwana.

Dewi Shinta yang diperlakukan bak Ratu oleh Rahwana tetap memegang teguh kesetiaannya sebagai seorang istri. Ia tetap percaya bahwa suatu hari nanti sang suami akan datang untuk menjemputnya. Hingga akhirnya hari itu tiba. Sang Suami akhirnya datang menjemput dan berhasil mengalahkan sang tokoh antagonis yakni Rahwana. Cerita berakhir dengan bahagia seperti yang sudah diharapkan. Dewi Shinta dan Rama bisa hidup bersama tanpa ada gangguan dari Rahwana, penjahat yang sudah seenaknya menculik istri orang.

Ketika membaca kisah Rama dan Shinta, saat itu aku masih kecil dan seperti kebanyakan orang yang membaca atau menonton kisah Ramayana, otak secara sadar dan tak sadar selalu menempatkan sosok Rama sebagai karakter protagonis yang sempurna. Nyaris tak ada cacat cela. Rama adalah sosok ksatria yang rupawan dan bijaksana yang beristrikan seorang wanita cantik nan setia. Dan di dalam benakku, kisah Rama dan Shinta adalah salah satu kisah cinta yang paling indah. Mereka memiliki cinta yang kuat dan tak terkalahkan oleh apapun.

Ya, itu adalah pemikiran bocah polos yang selalu percaya bahwa cinta itu indah. Cinta sejati yang pasti bisa melewati segalanya meski jalan yang dilalui penuh dengan liku dan duri. Cinta sejati tidak akan terkalahkan. Ia akan selalu menjadi pemenang, sama halnya seperti Rama. Ia adalah pemenang. Ia berhasil mengalahkan Rahwana dan mendapatkan Shinta kembali. Aku mungkin menjadi salah satu orang yang bertepuk tangan atas kemenangan Rama dan kembalinya Shinta ke sisi Rama. Saat itu aku tidak melihat ada yang salah, semuanya berada di alur dan jalur yang benar. Tidak ada adegan yang salah hingga akhirnya aku teringat dengan adegan dimana Rama meminta Shinta terjun ke dalam api untuk membuktikan kesucian dan kesetiaan Shinta.

Dulu aku menilai tidak ada yang salah dengan permintaan Rama tersebut, terlebih lagi ketika tak terjadi apa - apa pada Shinta ketika ia terjun ke dalam kobaran api. Dewi Shinta tak terbakar, yang itu artinya Dewi Shinta masih suci dan kesetiaannya tetap terjaga. Meski bertahun - tahun berada di Negeri Alengka, Dewi Shinta sama sekali tak terjamah oleh Rahwana. Dewi Shinta telah berhasil membuktikan kesetiaan dan baktinya sebagai seorang istri.

Dan sekarang, hal itu justru membuatku miris dan sedikit kecewa pada karakter Rama. Oh, ayolah. . . Rama adalah seorang ksatria yang bijaksana dan ia sangat mencintai istrinya, tapi, ketika ia meminta sang istri untuk membuktikan kesetiaannya dengan terjun ke dalam kobaran api tidakkah itu sedikit keterlaluan? Sri Rama Wijaya meragukan istrinya sendiri. Ia mempertanyakan kesetiaan sang istri. Bukankah Rama begitu mencintai Shinta, begitupun sebaliknya. Lalu, kenapa Rama bisa meragukan cinta Shinta? Rama telah bersusah payah menjemput Shinta di Alengka, lalu kenapa ia harus melontarkan pertanyaan yang begitu melukai perasaan Shinta?

Sempat terpikirkan olehku, jika seandainya Dewi Shinta sudah tak suci lagi, apakah Rama masih bersedia menerima kembali Dewi Shinta di sisinya atau justru membuang Dewi Shinta begitu saja? Hinakah Dewi Shinta jika seandainya ia dijamah oleh Rahwana? Rahwana itu penjahat dan ia bisa saja melakukan apapun yang diinginkannya pada Shinta. Tapi, untungnya Rahwana yang seorang penjahat sekalipun tak pernah memaksakan kehendaknya terhadap Shinta dan lebih memilih untuk menunggu. Dalam hal ini, entah kenapa aku jadi lebih berempati pada sosok Rahwana? Rahwana, raksasa yang bengis dan kejam saja masih bisa menghargai seorang wanita.

Cinta memang bisa membuat hitam menjadi putih dan putih menjadi hitam. Segalanya menjadi serba abu - abu. Dalam cinta, semua orang bisa menjadi protagonis atau bahkan antagonis. Yang baik belum tentu sampai akhir tetap baik, begitupun yang jahat. Rama Wijaya, ia mencintai Dewi Shinta, tapi, ia ragu. Ia tak mempercayai kesetiaan Dewi Shinta hingga meminta Dewi Shinta melakukan pembuktian. Rahwana, ia mencintai Dewi Shinta. Segala cara dilakukannya hingga menculik dan membawa Dewi Shinta ke Alengka, tapi, seujung kukupun Rahwana tak pernah menyentuh Dewi Shinta. Ia tetap menunggu Dewi Shinta menerimanya. Lalu, di sini siapa yang menjadi penjahatnya?

Dalam cinta, seringkali muncul keraguan. Ada semacam ketakutan dimana rasa cinta itu berubah, dimana kesetiaan itu akan goyah. Tak ada seorangpun yang bisa menjamin rasa yang ada di dalam hatinya selamanya akan tetap sama. Ketakutan dan keraguan itu pasti ada. Tapi, jika keraguan itu tak bisa dikontrol, itu juga tidak akan baik. Keraguan dan rasa tidak percaya itu bisa menumpulkan rasa cinta. Rasa cinta yang mulai tumpul dan berkarat, apakah akan indah? 

Selama ini aku terbuai dengan kisah Rama dan Shinta yang ku kira happy ending. Aku lupa bahwa kisahnya tidak berhenti sampai di sana. Alih - alih Rama dan Shinta hidup bahagia bersama, Shinta justru berakhir dalam pengasingan di hutan dalam keadaan hamil. Dalam sekejap ekspetasiku tentang kisah cinta sejati musnah. Sejahat - jahatnya suami, suami mana yang tega menelantarkan istrinya dalam keadaan hamil?

Aku tak bermaksud mendiskreditkan sosok seorang Rama Wijaya. Tapi, seperti yang sudah ku tulis sebelumnya, dalam cinta segala hal itu mungkin. Antagonis atau protagonis, hitam dan putih, segalanya menjadi samar - samar. Untuk keseluruhan kisah Ramayana, Rama adalah pahlawan dan Rahwana adalah penjahat. Itu sudah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Tapi, untuk urusan cinta, entah kenapa aku merasa Rahwana adalah sosok pecinta sejati. Rahwana boleh saja kalah oleh Rama, tapi, tidak untuk perasaannya. Bukankah Rahwana tetap mencintai Dewi Shinta meskipun Dewi Shinta adalah istri Rama? Selama bertahun - tahun Dewi Shinta menunggu kedatangan Rama dan selama bertahun - tahun pula Rahwana menunggu Shinta membuka hati untuknya. 

Satu hal yang selalu menjadi pertanyaanku, kenapa Rama tidak bisa mencintai Dewi Shinta seperti Rahwana mencintai Dewi Shinta? Dalam hal ini bukan berarti aku mendukung tindakan Rahwana menculik Dewi Shinta. Bagaimanapun juga melarikan istri orang itu tidak bisa dibenarkan. Kalau Rahwana hidup di era sekarang, Rahwana pasti juga sudah babak belur karena sudah seenaknya merebut istri orang. Benar - benar gila kalau sampai ada laki - laki yang melarikan istri orang seperti yang sudah dilakukan Rahwana. Dalam hal mencintai, Rahwana memang tergolong lebih ambisius dan gila, tapi, juga tak sepenuhnya buta. 

Rahwana mencintai Shinta dan ia tak pernah mempermasalahkan status Dewi Shinta. Ia lakukan segala cara untuk bisa menaklukkan Dewi Shinta, tapi, tak pernah memaksa untuk menyentuh Dewi Shinta. Apakah itu bisa disebut sebagai suatu ketulusan? Rama dan Rahwana, dua karakter berbeda yang mencintai satu orang wanita yang sama. Masing - masing mencintai dengan caranya sendiri. Yang satu menjadi pemenang dan yang lain kalah. Tapi, kenapa sang pemenang seperti Rama justru secara tak sengaja menyakiti wanitanya seperti itu? 

Ketika mencintai, berhentilah untuk ragu. Jangan biarkan keraguan menguasai hatimu. Dicurigai, diragukan, itu sangat tidak menyenangkan. Bukankah seharusnya rasa cinta itu bisa kau lihat melalui tatapan matanya? Jika cinta itu masih bisa kau lihat, lalu pembuktian apa lagi yang kau harapkan? Kau ragukan cintanya saja sudah sangat melukai, apa lagi ditambah dengan begitu banyak pembuktian yang kau minta. 

Ketika mencintai, janganlah seperti Sri Rama. Kau berjuang untuk mendapatkan cintanya dan ketika kau menjadi pemenang, kau justru menyakitinya dengan segala keraguanmu, dengan segala rasa curigamu. Jangan menjadi pemenang yang hanya bisa menyakiti. Ingat, jika kau bisa menjadi pemenang seperti Rama, maka diluar sana mungkin saja ada Rahwana yang masih tidak ingin kalah darimu. Rahwana yang menginginkan wanitamu untuk dijadikan sebagai Ratu. Jangan berbangga hati ketika kau menjadi Rama, karena bisa jadi di lain waktu Rahwanalah yang menjadi pemenangnya. 

_Caku Sakura_

Post a Comment