Judul : Abnoimer
Tokoh : Tyas, Karin, Adit, Rian
Tema : Sahabat




  Bel istirahat adalah hal yang paling dinanti-nanti oleh seluruh siswa dan siswi Garuda Art High School. Di sekolah seni favorit ini, para siswa dan siswi membentuk grup seni untuk nilai utama mereka setiap tahunnya.


  Di antara grup-grup yang ada di Garuda Art High School, The Birings adalah grup paling terkenal. Grup yang beranggotakan Tyas, Karin, Adit, dan Rian ini berhasil membuat nilai umum paling besar di Garuda Art. Sama seperti yang lain setelah bel istirahat berbunyi, The Birings segera bergegas menuju Kantin untuk memesan makan siang mereka.


  "Karin?" Adit mencoba menyadarkan Karin yang tengah melamun menatap mie instan yang baru saja dipesannya.
  "Sini, biar gue suapin" Ucap Tyas menghentikan aktivitasnya memakan mie baso yang baru beberapa suap ia makan. "Cieee yang mau romantisan" Ledek Rian tersenyum jahil.


  "Idih Tyas, gue bisa makan sendiri kali." Senyum Karin mencoba meraih sendok yang ada di hadapannya. Namun nihil, tangan Karin tak mampu meraih sendok tersebut, malah tangannya hampir mengenai kuah mie instan yang masih panas.


  "Tuhh kan, udah sini biar gue suapin" Tangan Tyas meraih mangkuk berisi mie instan milik Karin yang ada di sampingnya. Sambil menahan air mata Tyas memberikan suapan demi suapan pada sahabatnya yang sudah sebulan ini mengidap penyakit Abnomeir. Penderita penyakit ini biasanya akan  mengalami rasa sakit dan ngilu di seluruh tubuh secara bertahap, juga lupa bagaimana cara melakukan sesuatu yang umum, seperti makan, mandi, menulis, berpakaian, dan lain sebagainya.


****


  Hari demi hari keadaan kesehatanku semakin memburuk. Di dalam kamar berkonsep biru ala pororo ini aku terbaring lemah tak berdaya, bersama dengan selang-selang infus kecil yang tak hanya merekat satu di tubuhku. Otot dan sendi pada tubuhku seakan-akan terasa  kaku, lidahku terasa kelu. Hanya erangan, intruksi yang ku berikan pada ibu. Setiap saat denyut ngilu selalu menyerah tubuhku, kepalaku terasa akan pecah, sakit.. Sangat sakit. Tak ada obat yang bisa ku konsumsi untuk menghilangkan rasa sakit dan ngilu tersebut. Aku tak kuasa menahan semua kepedihan ini, apalagi saat orang-orang yang ku sayangi membuang air matanya untukku. Itu hanya akan menambah kepedihanku saja. Kumohon, berhenti menangis untukku.


  Pagi Minggu ini, terdengar suara familiyar yang sudah seminggu ini aku rindukan. Ya, itu sahabat-sahabatku, Tyas, Adit, dan Rian. Sekali dalam seminggu, ketiganya tak pernah absen untuk datang menjengukku. Kesetiaan persahabatan mereka memang bukan hal yang patut diragukan.


  Greepp, knop pintu kamarku terbuka. Tyas, si bawel itu masuk ke dalam dengan mata yang bengap, tanpa melirikku sedikitpun ia langsung membersihkan kamarku.


***


  "Jadi ayah sudah membeli apa yang dokter bilang?" Tanya Rian begitu terkejut setelah mendengar apa yang diucapkan pak Karino, Ayah karin.


  "Heummm, mau gimana lagi Yan? Ayah juga bingung" Ucap Ayah Karin dengan suara dalamnya, juga mimik wajah yang begitu frustasi.


  "Kita serahin aja sama Allah yah, Allah Maha Tahu juga Maha Adil" Bijak Adit.


  "Dit, Yan, ayo makan. Ibu udah masak makanan kesukaan kalian sama Karin, ayo" Ucap Ibu Karin yang sudah menganggap sahabat putri tunggalnya itu sebagai anaknya sendiri.


  "Ya Allah bu, gak usah repot-repot" Ramah Adit. "Repot apa sih, Nak? Ayo" Senyum ibu Karin kembali mengajak Adit dan Rian untuk makan bersama. "Ehh, Tyas mana?" Lanjut ibu Karin saat menyadari Tyas tak ada bersama Adit dan Rian.


***


Aku menyerah, untuk tak melirik dan menatap Karin, ku dudukan tubuh tinggiku ini di tepi ranjangnya, menatap sendu sahabat paling bijak yang pernah ku kenal. Aku masih berpikir siapa sebenarnya sosok di hadapanku ini? Karin kah? Si wanita bijaksana itu? Si manis itu? Sahabatku? Anggota The Birings?


  Walau tak mungkin, aku terus berdo'a agar semua ini hanya mimpi buruk
biasa. Dan saat aku terbangun, terdengar suara merdu Karin dengan petikan gitarnya menyambutku hangat. Tanganku perlahan memegang tangan mulus Karin, mataku tertutup, berusaha menolak dan menahan butiran air mata yang ingin keluar dari mataku. Namun percuma saja, aku terlalu lemah untuk melakukan itu. Hingga akhirnya aku mengijinkan dan menerima butiran hangat itu keluar dari mataku. Pedih, perih sekali, aku takut, sangat takut. Aku tak ingin lagi ditinggalkan orang yang ku sayang, karena baru beberapa bulan yang lalu ibuku meninggal karena sakit paru-paru.


  Sebenarnya, aku sadar bahwa aku tak seharusnya seperti ini. Tapi aku benar-bebar takut. Aku ingin cepat melewati masa perihku, bukan apa-apa, melihat Karin yang sudah seperti ini, orang-orang terdekat pasti sudah bersiap-siap untuk mengikhlaskannya. Dokter juga sudah memprediksi, bahwa usia Karin sudah tak lama lagi. Melihat dan mendengar rintihan Karin saja orang-orang pasti merinding, apalagi Karin yang merasakannya. Sungguh, aku tak sanggup, benar-benar tak sanggup. Jika Tuhan berkehendak, aku akan memohon pada-NYA agar Karin bisa membagi rasa sakit itu padaku.


  "Tyas.. Sarapan dulu, Nak." Lembut ibu Karin menghampiriku yang masih
memejamkan mata. "Sttt.. Udah udah.. Nak, ayo" Ibu Karin mencoba menabahkanku, padahal aku tahu dirinya sendiri saja belum bisa tabah dan berusaha menahan semua kepedihan ini.


  Berpikir panjang, aku pun mendengarkan apa yang ibu Karin katakan. Aku berjalan menuju meja makan didampingi ibu Karin, di sana terdapat banyak sekali makanan kesukaan Karin dan The Birings. Aku duduk di kursi yang selalu Karin tempati, tanganku mengambil beberapa lauk untuk ku letakan di atas nasi putih yang sudah dialaskan oleh ibu Karin.


  "Ibu.. Waktu itu kan Karin lupa cara makan, dia malah bingung hikss.. Dia juga gak bisa pake sendok hikss hiks.. Terus Rian, Adit, sama aku nyuapin Karin dehh" Isakku saat aku memakan makanan yang sudah ku pilih, lagi-lagi mataku berkaca-kaca, tanda butiran air mata akan segera keluar, air hangat yang sedikit asin itu bercampur dengan makanan yang ia kunyah. Ibu Karin yang mendengarkan ceritaku hanya bisa menahan tangis.


  "Yas.." Panggil Rian tak kuasa menahan tangisnya. Adit yang ada disamping soulmate kedua Karin itu mencoba memberi semangat.


  "Stttt.. Karin masih ada sama kita, hanya saja dia sedang tertidur lemah" Ucap pak Karino, ayah Karin secara tak langsung menyemangati orang-orang
yang sangat putrinya sayangi.


  Selesai makan, aku, Adit, dan Rian pergi menuju kamar Karin. Di sana
Kami akan memutar kembali memori kebersamaan kami bersama Karin, bersama gadis polos ini. Tak semua kami ingat, terlalu banyak kenangan kami bersama Karin, terutama kenangan indah.


  "Karin.. Karin.. Heuuuuhhhhh Karin.. Karin.. heueeheuuuKarin.. Hiksss" Tangisku tiba-tiba mengejutkan Adit dan Rian. Entahlah, itu terjadi begitu refleks saat aku mencoba memutar kembali kenangan indahku bersama Karin.


  "Astagfirullah..nyebut Yas, nyebut!" Ucap Adit padaku yang tengah memberontak di bawah dekapan Rian.


  "Heuuuuhh... heuuuuuhhh". "Istigfar Yas,
Istigfar!!" Pinta Rian.



Karin.. Rin.. Ini kita.. Sahabat lu.. Kita kangen sama lu Rin.. Kita gak
tahu gimana jadinya kita tanpa lu.. Lu masih inget gak waktu Rian sakit seminggu? Kita nangiskan Rin? Kita semua gak mau terjadi apa-apa satu
sama lain.. Udah 3 tahun Rin.. Kita udah 3 tahun bareng-bareng Rin.. Kita gak mau dunia nulis sejarah The Birings cuma bertahan sampe 3 tahun.. Rin.. Rin.. Karin.. Kita sayang sama lu.Ayo wujudin mimpi kita.. Nikah
bareng-bareng.. Punya anak bareng- bareng.. Tua bareng-bareng.. Pergi ke Korea bareng-bareng.. Bulan madu bareng-bareng.. Lu harus tepatin janji lu Rin! Ayo..!


****

  Karena besok tanggal merah, malam ini Tyas, Adit, dan Rian memutuskan untuk tidur dirumah Karin. Tyas tidur bersama Karin, di samping sahabatnya. Ia tak ingin menutup matanya, ia takut jika ia tertidur dan saat ia terbangun Karin sudah tak ada disampingnya. Hal itu sangat tak ingin Tyas alami. Ia ingin saat Karin pergi, Karin melihat orang-orang yang ia sayangi ada disampingnya.

  "Yas.." Pelan Adit dan Rian membuka pintu kamar Karin yang terbilang
cukup luas ini. Mendengar panggilan kedua sahabatnya, Tyas bangkit dari
tidurnya.

  "Nihh minum dulu" Rian menyerahkan segelas coklat panas pada Tyas yang terduduk lemas. "Makasih boy.." Senyum Tyas menerima coklat panas kesukaannya. Adit dan Rian pun duduk di samping Tyas.

  "Kesel banget gue sama dokternya Karin" Kesal Rian dengan ekspresi wajah yang masam. "Kenapa emang?" Tanya Tyas meniup coklat panasnya. "Dia nyuruh Ayah Karin buat nyiapin semuanya" Jawab Rian memanjukan bibirnya.

  "Semuanya? Apanya?" Tyas mengerutkan dahinya tak mengerti."Semua perlengkapan kematian" Adit mulai membuka mulut. "Dokter udah memprediksi kembali, Karin cuma bisa bertahan beberapa hari lagi." Lanjutnya. Tyas tak berekspresi, padahal hatinya terasa sangat sakit, rasanya seperti dia sendiri saja yang sebentar lagi akan menghadapi kematian.

  "Pengen gue tabokin tuh dokter, apa haknya coba? Seharusnya dia kasih tau aja, gak usah nyuruh-nyuruh kaya gitu" Omel Rian terlihat begitu kesal. "Hu'uh, baru kali ini gue gak suka sama orang yang berpendidikan" Setuju Adit mengangguk. "Kalau gue jadi bapaknya Karin, udah gue apain tau tuh dokter" Ucap Rian semakin menjadi.

  "Guys.." Suara kecil nan serak itu begitu mengejutkan Tyas, Adit, dan Rian. Tak berpikir yang lain, mata ketiganya langsung tertuju pada sosok Karin yang tertidur lemah dibelakang mereka. Ini sebuah keajaiban, Karin tak bisa berbicara sebelumnya, sepatah katapun.

  "Karin??" Ketiganya menghampiri Karin yang terbangun dari tidurnya. "Guys.. Hikss, gue gak kuat.. Lu jangan bikin gue tambah sakit ya guys
hikss.. Hikss gu..gue sayang sama kalian, ibu sama ayah gue heuuhh hikss
heuhh.. Sampein maaf gue sama mereka ya.. Hueeeeeeeeehhh ahh hikss.." Tangis Karin terlihat begitu tersiksa, membuat ketiga sahabatnya tak kausa menahan tangis. "Ka.. Kariinnn.." Isak Tyas dengan pipi yang sudah basah akibat linangan air matanya.

  "Tyas.. Yas.. hikss makasih .. Hueeehh boys.. Thank's.. Heuhhhh Ya
Allah.. hikss.. hikss.. hiikkkksss" Karin tak kuasa menahan semuanya, wajah putihnya sudah sangat pucat, keringat dingin keluar dari setiap sudut pori-pori kulitnya. "Istigfar Rin, inget Allah" Bijak Adit memegang erat tangan sahabatnya yang sudah sangat dingin. "Karin.. Hueehh Karin.." Tangis Rian, ia sekarang tak memperdulikan apapun, ia berpikir kesedihan dan tangisan bukan milik wanita seorang. Pria pun memiliki hak yang sama untuk menangis.

"Kariiiiiiiiiiiinnnnnnnnnn...."

****

  Percaya tak percaya, mau tak mau. Semua ini pasti terjadi. Jerit tangis
teman-teman Karin  saling bersahutan di rumah sederhana milik pak Karino. Bendera kuning kini terpasang di depan halaman rumah pak Karino. Banyak sekali orang-orang yang datang, bukan hanya rekan-rekan sebayanya saja.  Mengingat mendiang yang banyak meninggakan kenangan manis, kebaikan, ilmu, dan banyak hal positif lainnya.

  Sedih dan senang ku rasakan saat ini,  aku tak berkutik, aku hanya diam menatap sendu jasad kaku Karin yang sudah dibalut dengan kain putih. Pijatan ringan Adit berikan padaku. Adit tahu ini berat, tapi Adit berkata jangan buat sesuatu yang berat menjadi lebih berat.



  Karin.. Karin Azizah Ismaliah, tenang di sana ya! Kita udah ikhlas ngelepas lu, semoga lu ditempatkan di tempat yang layak  di sisi Sang Pencipta. Jangan lupain kita Rin, kenangan kita, jangan lu lupain sekali pun. Selamat jalan sahabat terbaik..



*Cerpen ini dibuat karena imajinasi saya sendiri
*Jika ada Nama, tempat, atau hal lainnya yang sama, itu hal ketidaksengajaan

Post a Comment