Title : Sorry
Cast : Lee Dong Wook, Red Velvet Wendy
Author : Yayu Yuningsih a.k.a Choi Jung Ra
Cover : Choi Jung Ra Present


  “Kya… Wendy, siapkan dirimu untuk mendengar berita ini.” Semenit yang lalu Irene pergi ke kamar kecil bersama Seulgi, namun belum sampai waktu normal keduanya sudah kembali dengan tergesa-gesa.


  “Wae?” Aku tersenyum tipis melihat kelakuan dua sahabatku ini.


  “Apa kau sudah siap?” Seulgi kembali mengujar.


  “Memangnya berita ap…” Ucapanku terpotong, seisi kelas berseru untuk kembali ke tempat duduknya masing-masing, karena wali kelas kami datang. Mengapa ia datang begitu cepat? Bukankah bell belum berbunyi.


  “Guru Han datang.”


  “Minggir minggir.”


  “Mengapa dia sudah datang?”


  “Apa bell sudah berbunyi?”


  Seulgi dan Irene saling menatap lalu tersenyum. Keduanya pun pergi ke kursi masing-masing sebelum sepatu hak tinggi guru Hanmemijaki kelas ini. Ahhh guru Han benar-benar, dia datang di saat yang tidak tepat.


  Deg..
Jantungku terhentak saat guru Han memasuki kelas tak sendiri. Irene yang duduk di sampingku mengedipkan mata kanannya. Pria itu?


  “Good morning everybody.” Kata sapaan itu hampir tak pernah absen saat Han sam memiliki jam di kelas ini, hmmm tidak, mungkin tepatnya di setiap kelas.


  “Kalian sudah dengar bukan? Guru Kang akan menikah minggu depan dan untuk mempersiapkan pernikahannya ia mengambil cuti selama dua bulan. Oleh karena itu, guru Lee akan menggantikannya untuk  sementara.” Entah apa yang dituturkan guru Han aku tak peduli, aku masih berpikir keras untuk pria di depan itu.


  “Wuah… Bukankah ia sangat tampan?”


  “Ia terlalu tampan untuk menjadi seorang guru.”


  “Dia lebih cocok menjadi model.”


  Mulut teman-teman wanita sekelasku mulai bercuap-cuap. Sepertinya aku akan memiliki banyak saingan di sini.


  “Bell akan berbunyi dua menit lagi dan pelajaran Sejarah ada di jam pertama hari ini, jadi aku akan meninggalkanmu bersama anak-anak. Selamat mengajar guru Lee.” Ketukan hak sepatu guru Han terdengar jelas olehku yang duduk di bangku belakang. Ia pergi dan membiarkan pria tampan itu memimpin kelas.


  “Seperti yang guru Han katakan, aku akan menggantikan guru Kang untuk sementara sampai cutinya berakhir. Sebelum pelajaran dimulai, apa ada pertanyaan?” Ia langsung mengambil alih kelas.


  “Bagaimana dengan namamu, guru?” Dengan malu-malu, Youngji bertanya sambil mengangkat tangannya.


  “Lee Dong Wook.”


                                                *****

#Jam Istirahat#


  “Dia baru pindah seminggu lalu.” Irene memakan es serut kacang coklatnya.


  “Apa dia tinggal sendiri?” Semangat Wendy masih menggebu-gebu. Bagaimana tidak, pria yang ia sukai sejak pandangan pertama, sekarang bisa ia temui setiap hari.


  “Kurasa iya, tapi barang bawaannya begitu banyak, Ayahku sampai turun tangan untuk membantunya yang bekerja sendiri.” Tutur Seulgi yang tinggal bersebelahan dengan Irene dan tetangga dari guru Sejarah sementara mereka.


  “Aaaaaaa…. Bukankah ini kebetulan yang sangat luar biasa?” Es serut yang Wendy pesan sudah mencair, ia tak menyentuh sama sekali sejak mangkuk es itu ada dihadapannya.


  “Tapi bukankah usia kalian akan terpaut jauh?” Tanya Seulgi membuat pipi Wendy memerah.


  “Hey, itu bukan masalah yang besar.” Irene menambahkan.


  “Aisssh… Aku bahkan belum melangkah.” Wendy mendesis sambil memegang kedua pipinya yang terasa panas dan semakin panas saat wajah pria bernama Lee Dong wook itu menguasai pikirannya.


****

  Hari demi hari Wendy dan guru Lee terlihat semakin dekat. Cepat menguasai materi  adalah salah satu alasan Wendy dekat dengan pria yang berhasil mencuri hatinya tersebut. Tak jarang keduanya bertemu diluar jam pelajaran. Bukan hanya senyum yang selalu terukir setiap harinya, ulangan harian Wendy pun selalu  mendapat nilai ‘Sempurna’. Semangat belajarnya semakin meningkat, apalagi saat layar ponselnya berhiaskan pesan singkat dari guru Lee.


  Dalam beberapa kesempatan, Wendy menghabiskan malamnya di rumah Seulgi ataupun Irene untuk melihat sosok pria berkepala tiga itu secara langsung. Dan tampaknya kisah cinta ini tak bertepuk sebelah tangan.


****


  Hari ini kelas 11-2 mendapat penduduk baru di tengah semester satu. Mudah bergaul, Wendy cs pun bersahabat baik dengannya. Seperti biasa, setelah menyantap makan siang, mereka memesan es serut dengan rasa favorit masing-masing.


  “Kau mempunyai selera yang sama.” Wendy menatap teman baru dengan senyum manisnya.


  “Dengan siapa?” Bernama Yeri, gadis ini mengingatkan Irene pada seseorang.


  “Ahh, tidak hehe. Oh ya, bahasa Inggrismu sangat luar biasa, dari mana kau mempelajarinya?” Wendy menunjukan barisan gigi putihnya.


  “Hehe, Ayahku sangat pintar berbahasa Inggris dan itu menurun padaku.” Ujar Yeri pada teman-teman barunya.


  “Wow, kau sangat dekat dengan Ayahmu rupanya?” Tutur Seulgi.


“Hmmm… Ya, begitulah.” Angguk Yeri tersenyum.


  “Mengapa kau datang di pertengah semester seperti ini?” Tanya Irene setelah menelan kacang di es serutnya.


  “Ayahku sangat sibuk, jadi proses kepindahanku ditunda.” Jawab Yeri.


******


  Tiga serangkai yang dijuluki ‘3 Kupu-Kupu’ oleh semua penduduk sekolah ini harus pulang larut seperti biasa, karena kegiatan ekskul mereka.

  
                              #19.34 KST#

  “Apa kau pernah melihat Yeri sebelumnya?” Seulgi berjalan mundur menghadap Wendy dan Irene yang tengah menyusuri koridor sekolah untuk pulang.


  “Kurasa iya, tapi entahlah aku tak begitu yakin.” Pundak gadis berparas cantik ini terangkat.


  “Jangan terlalu dipikirkan.” Ujar Wendy setelah meneguk setengah air mineralnya.


  “Hey, bagaimana dengan guru Lee?” Seulgi beralih ke samping Wendy dan mengganti topik pembicaraan sambil terus berjalan menuju halte bis di seberang sana.


  “Kau tahu sepatu di toko kemarin? Dia membelikannya untukku.” Kedua tangan putih Wendy menutupi wajahnya yang mulai memanas.


  “Aaaaaaaa…” Histeris kedua sahabatnya. Kemarin, tiga pelajar ini pergi ke toko sepatu untuk menambah koleksi mereka. Namun saat beberapa pasang yang telah dipilih terbungkus, sepatu biru muda dengan corak manis disamping menarik perhatian Wendy. Tapi apa daya? Stok uang untuk membeli sepatu telah habis, jadi mau tak mau Wendy hanya bisa gigit jari, apa lagi mengingat harganya yang fantastis. Jadi reaksi Irene dan Seulgi bisa dikategorikan sebagai ekspresi yang wajar.


  “Lalu lalu?” Irene ingin tahu sejauh mana hubungan siswi dan guru ini.


  “Dia selalu mengingatkanku untuk makan dengan teratur, rajin belajar dan aaaaaaaaaaaa…. Sudahlah, aku tidak kuat untuk menceritakannya.” Pertanyaan yang Wendy dapat membuat pipinya terasa terpanggang.


  “Huhuhu aku iri padamu, Minhyuk saja tak pernah melakukan itu.” Perlu diketahui, Minhyuk adalah kekasih Irene sejak sekolah menengah pertama.


  “ Itu karena Minhyuk bukan jenis pria seperti itu.” Yah, memang benar apa yang Seulgi katakan.


  “Lalu, apa kalian sudah berkencan?” Setelah berhasil melewati jalan raya besar ini, Irene kembali mengajukan pertanyaan.


  “Ani…” Terlihat jelas raut wajah kecewa pada seorang Wendy.


  “Gwaenchana. Semua itu memerlukan proses.” Sebagai sahabat yang baik, memang ini yang harus Seulgi dan Irene lakukan.

  
 “Hmmmm… Sudah sejauh ini saja aku sangat bersyukur.” Tanpa diingatkan pun Wendy pasti akan seperti 
ini. Menyerah memang bukan gayanya.


  “Hey, tapi menurutku itu akan segera terjadi.” Seulgi mengemukakan pendapatnya. Tepat sedetik setelah mulut gadis bermata sipit ini tertutup, bis yang akan ketiganya tumpangi datang.


  “Tentu saja, akan kupastikan itu terjadi.” Kalimat seperti ini bukan hal yang tabu bagi Irene dan Seulgi, bersahabat selama dua belas tahun, mereka tahu betul sifat optimis Wendy.


  Besok adalah akhir pekan, jadi malam ini Wendy memutuskan untuk tidur di rumah Seulgi bersama Irene. Selain agar tak kesepian, ia juga ingin melihat sosok calon prianya yang tadi sore terakhir ia lihat.


  Bis berhenti tepat di depan gerbang komplek, butuh waktu lima menit untuk menuju rumah Irene dan Seulgi. Untuk mengisi jalanan aspal sepi ini, mereka mengunjungi kedai ice cream yang ada di dalam komplek.

                                ~Tuing~


  Ponsel biru muda Wendy bergetar diiringi dengan bunyi pelan. Segera diketik beberapa kata yang menjadi passoword ponselnya. Ia semangat, tentu saja. Ia sudah yakin itu adalah pemberitahuan pesan singkat dari pria yang selalu ia rindukan setiap saat yaitu guru Lee.

                                                ^Honey Lee^

                                “Bisakah kau datang ke taman Haebaragi sekarang?”


  Ternyata memang benar, pesan singkat itu dari guru Lee.

  Wendy tersenyum bahagia. Tapi ia tak membalasnya, Wendy ingin memberi kejutan pada pujaan hatinya itu, ia tahu betul apa yang akan dilakukan seorang Lee Dong Wook, jika belum ada konfirmasi maka tak akan beraksi.


  “Guru Lee?” Seulgi melirik sekilas ponsel 5 inchi Wendy. Pemilik ponsel pintar itu pun hanya mengangguk masih dengan senyumnya.


  “Ahhh… Seperti hanya aku yang masih sendiri.” Sambil memakan ice cream yang baru saja ia terima dari tangan kanan Irene, Seulgi menghembuskan nafasnya kasar.


  “Kyaaa.. Bukankah Chanyeol memintamu untuk berkencan dengannya?” Tanya Irene sambil melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.


  “Dia terlalu sempurna untukku.” Lagi, Seulgi melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.


  “Kyaaa… Apa yang kau maksud ‘Terlalu sempurna’?” Wendy menghentikan langkahnya, lalu menatap Seulgi intens.


  “Jangan berpikir kemana-mana, fokus saja pada hati kecilmu dan turuti apa yang dia mau.” Lanjut Irene memegang pipi mulus Seulgi.


  “Uuuhhh… Kalian memang bukan sahabatku.” Seulgi bersyukur akan ucapan Irene dan Wendy. Cubitan lembut di hidung pun menjadi perwakilan.


  “Ya… Ya kita memang bukan sahabatmu, pergi sana.” Perilaku mereka mulai tak wajar.


  Terisi tawa dan canda, waktu lima menit pun bukan apa-apa. Rumah Seulgi terhalang lima rumah lagi, sedangkan Irene memiliki selisih satu yaitu enam. Tak disangka, di taman komplek mereka bertemu dengan Yeri.


  “Yeri-ahh…” Sapa Seulgi menghampiri Yeri dengan pakaian rumahnya.


  “Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Wendy.


  “Rumahku di komplek ini dan aku sedang mencari udara segar.” Manis Yeri menjawab pertanyaan dari Wendy.


  “Jinjja? Aku dan Seulgi juga tinggal disini.” Irene membulatkan mata beningnya.


  “Wuah… Apa ke arah sana?” Yeri terlihat sangat senang mendengar kenyataan Irene dan Seulgi tinggal satu komplek dengannya.


  “Eoh, apa kau juga?” Angguk Irene, begitu pun dengan Yeri.


  “Ayo kita jalan bersama kalau begitu.” Ajak Wendy menggandeng tangan Yeri.

                                                Lala Lalala Lala Lala

  Berbeda dengan sebelumnya, kali ini getaran di ponsel Wendy lebih panjang dan dengar dering yang lebih kencang.

                                                                ^Honey Lee^

  “Aku akan menyusul.” Cengirnya setelah mengetahui panggilan dari siapa itu.

  “Oke.” Kerlipan manis Seulgi berikan sebagai tanda ‘iya’ selain ‘oke’.

Waeyo?”
  (“Apa kau sibuk?”)
  “Ani.”
  (Lalu? Pesanku? Mengapa kau tak membalasnya?”)
  “Apa aku harus membalasnya?”
  (“Tentu saja. Ada hal penting yang  ingin kubicarakan padamu.”)
  “Kyaaa… Ajjusi, mengapa kau begitu serius? Aku hanya ingin bercanda denganmu.”
  (“Jangan melakukan hal bodoh seperti itu, aku harus benar-benar berbicara denganmu.”)
  “Baiklah, detik ini juga permintaanmu akan terkabul.”
  (“Sudah kubilang jangan melakukan hal bodoh.”)
  “Ajjusi, kau lebih tampan jika dilihat dari samping seperti ini.”
   (Mwoya.. Apa kau ad..”) Percakapan mereka terpotong oleh teriakan yang dari masing-masing ponsel terdengar jelas.

  “Ayah..”

  Deg…

  Dalam hitungan detik, ponsel lawan bicara Wendy terjatuh di tanah. Jarak keduanya bisa terhitung dengan baik. Wendy menghapus senyum yang sedari tadi ia ukir. Terdiam adalah hal tepat yang  ia lakukan. Dalami dulu apa yang baru saja indra pendengaran dan pengelihatannya tangkap. Bagus Son Wendy, jangan mengambil tindakan apapun sebelum kau mengetahui pasti apa yang terjadi.


  Seulgi dan Irene menatap Wendy yang ada di belakangnya, lalu bagaimana dengan Yeri? Sekarang ia bediri tepat di samping guru Lee, orang yang terakhir menghubungi Wendy melalui ponsel dan sekaligus orang yang Yeri panggil dengan sebutan ‘Ayah’


  “Yedeura, perkenalkan ini Ayahku, Lee Dong Wook. Kudengar Senin besok hari terakhirnya di sekolah. Kalian pasti sudah mengenalnya bukan?” Situasi macam apa ini?

****

                #Senin#

  “Hari ini seharusnya hari terakhirku di sekolah ini, tapi karena persetujuan kepala sekolah aku akan menjadi guru Sejarah tetap kalian.” Tuturku membuka jam pertama pelajaran sejarah di kelas 11-2.

  “Wuah… Ini berita bagus.”

  “Guru, aku akan lebih giat belajar sejarah lagi, tetaplah bersama kami.”

  “Aku tak akan tidur di kelas lagi guru.”

  Seharusnya aku bahagia dengan  ini, tapi entahlah perasaan bahagia itu tergeser oleh rasa bersalahku padanya. Aku tak bisa mengendalikan diri sejak pertama kali bertemu dengannya, padahal aku tahu resiko apa yang akan kuterima jika hati ini sampai jatuh padanya.


  Saat itu tepat sehari sebelum aku pindah ke komplek Taeyang. Hari pertama aku bertemu dengannya, Son Wendy. Masih kuingat jelas apa yang dikatanya saat itu “Kau saja duluan, aku sedang tak buru-buru.” Kedai kopi dan sekolah ini menjadi tempat bersejarah bagiku.


  Situasi semacam ini cepat atau lambat pasti akan terjadi, jadi aku tak akan terlalu terkejut. Tapi bagaimana dengan Wendy? Ia pasti akan kesulitan. Maafkan aku Son Wendy.. Tak seharusnya aku melakukan semua ini. Tak seharusnya aku masuk ke dalam kehidupanmu.


  “Wendy-ahh…” “Guru Lee.”

  Serempakku dan Wendy saat berpapasan tepat setelah jam pelajaran Sejarah berakhir.

  “Ahh.. Kurasa kita perlu bicara.” Kegugupan tak bisa ia tutupi dengan baik.

  Atap selatan sekolah yang sepi pun Wendy pilih. Detik ke detik hingga menit ke menit, kami dalam hening, tiupan angin terdengar begitu ricuh di telingaku. Sadar masih di lingkungan sekolah, sebagai pria aku harus memulainya.

  “Maafkan aku…”

  “Yeri… Bisakah kau jelaskan siapa dia sebenarnya?” Suaranya sedikit bergetar. Jangan menangis Son Wendy, kumohon.

  “Dia.. Dia anakku.” Ini berat, sangat berat. Jika harus memilih, lebih baik ribuan jarum menusuk di tubuhku untuk menggantikan dua kata itu.

  “Anak?” Bisa kulihat cairan bening keluar dari mata bulatnya.Ia membelakangiku, kakinya melangkah menjauh.

"Son Wendy..." Ia tak menggubris. Sungguh, ini begitu menyakitkan.
"Maafkan aku..." Wendy membalikan tubuhnya, menatapku yang kini berjarak beberapa kaki darinya.

"M-Maafkan aku karena mencintaimu... Kumohon maafkan aku."



END~

Post a Comment